Saturday, March 15, 2014

Ordinary Young Men, Want to Survive, Want to be Alive



“Raihlah kehidupan. Raihlah setiap momen. Jangan sia-siakan setiap hembusan napas.”
"Tentu saja ada makanan di gunung ini. Ada daging, jumlahnya banyak, dan mudah didapat. Daging-daging ini diambil dari mayat-mayat yang terbaring di luar pesawat, di bawah lapisan salju. Hanya daging-daging ini yang bisa dimakan dalam radius seratus mil”. 

Kehidupan kadang berhias dengan keajaiban. Apakah kalian dapat percaya bahwa ada sekelompok orang yang mampu bertahan lebih dari dua bulan di tengah ganasnya Andes, pegunungan tertinggi kedua di dunia, no food, no experience, no survival skill? Rasanya hampir mustahil bisa terjadi. In fact,  keajaiban luar biasa seperti itu ada. Penasaran? Buku dan film sudah di rilis pada tahun 2010, dan kalian dapat menyaksikannya sendiri di youtube.


Nando Parrado
Nando Parrado, salah satu dari 16 penumpang pesawat Uruguayan Air Force 517 yang mengalami kecelakaan karena human error di Pegunungan Andes, Amerika Selatan, menceritakan semua kisah tragisnya selama 72 hari, dengan tanpa perbekalan, perlengkapan, dan peralatan yang lengkap, karena mereka ingin berlibur untuk musim panas, sebelum akhirnya mereka justru berada di tempat yang bersalju.



Cerita luar biasa tersebut bermula dari kecelakaan pesawat Fairchild pada 13 Oktober 1972. Pesawat dicarter tim rugby Uruguay yang akan bertanding ke Chile. Di tengah perjalanan, pesawat yang mengangkut 45 orang itu jatuh di Pegunungan Andes, tempat ganas yang berselimut salju abadi. Setelah jatuh, hanya 32 penumpang yang ditemukan hidup. Namun insiden longsoran salju dan luka sebagian penumpang yang semakin parah membuat korban bertambah. Akhirnya hanya 16 orang yang akhirnya mampu bertahan dan keluar dari neraka Andes. Bagaimana mereka bisa keluar dari tempat antah berantah dalam situasi yang begitu sulit? Di situlah inti memoar Nando. Tentang perjuangan hebat yang mampu mengubah hal yang nyaris mustahil menjadi mungkin. 

Momen sesaat setelah pesawat jatuh begitu mencekam. Nando tak sadarkan diri selama tiga hari dan ketika sadar dia mendapati ibunya, yang ikut dalam rombongan itu sudah meninggal. Adik perempuannya, Susy, sudah sekarat dan akhirnya juga meninggal. Kondisi mereka begitu sulit. Tanpa bekal memadai, para korban selamat dipaksa menghadapi udara dingin Pegunungan Andes yang begitu mematikan. Tidak ada pilihan tempat berlindung selain puing-puing pesawat yang tak banyak membantu. Nando dan teman-temannya berusaha bertahan dengan melakukan apapun yang mampu dilakukan. Mereka berharap pertolongan akan segera datang. Tapi kenyataan berkata lain.Mereka bertahan hidup selama 72 hari sambil menimbun harapan datangnya pertolongan.

Namun pertolongan bantuan itu sering hanya datang dalam halusinasi para korban yang mulai putus asa. Ketika radio pesawat yang nyaris rusak memberitakan bahwa proses pencarian mereka dihentikan, harapan itu memudar dan patah. Satu-satunya jalan kini hanyalah melakukan ekspedisi penyelamatan diri sendiri, menyeberangi halangan puncak gunung dengan kemungkinan menemukan jalan menuju "surga" atau "neraka".  

Tepat di hari ke-10 setelah pesawat Fairchild dinyatakan hilang, proses pencarian resmi dihentikan. Kabar buruk itu sampai ke telinga para korban melalui radio pesawat. Semangat mereka pun langsung melorot ke titik nadir. Pada akhir Oktober, pukulan bertambah berat ketika longsoran salju membuat korban selamat menyusut jumlahnya. Kondisi mereka semakin tertekan karena tak kunjung mendapatkan titik cerah.

(dari kiri) Carlitos, Vizintin "Tintin",
dan Parrado
Terdorong oleh kewajiban untuk selamat, mereka telah menjadi pendaki sungguhan. Untuk mencari pertolongan, Carlitos menjahit potongan kain menjadi kantong tidur untuk mengakali suhu beku gunung. Mereka juga membawa potongan daging manusia untuk suplai logistik. Pada hari ke-60, setelah merasa mampu menguasai medan gunung dan diri mereka sendiri, sebuah tim kecil ekspedisi telah terbentuk dengan segenggam keyakinan. 

Penderitaan tanpa ujung itu berakhir di hari ke-72. Setelah menghabiskan dua bulan terjebak di sepinya pegunungan Andes dan bertahan hidup di bawah titik beku, Nando berdua dengan Roberto Canessa berjuang menantang batas kemampuan. Mereka mendaki gunung selama 10 hari, dengan bekal dan peralatan sederhana, mencari pertolongan dan akhirnya berhasil. Mereka berdua bertemu seorang penggembala sapi di daerah Chile, yang membuka jalan misi penyelamatan. Sebanyak 16 orang berhasil diselamatkan.   
Parrado baru saja menemukan kehidupan
setelah 10 malam melewati gunung salju.

Nando dan rekan-rekannya ingin menunjukkan bahwa kegigihan bisa membuat miracle is achieveable. Namun kegigihan saja tidak cukup. Dibutuhkan kekompakan, rasa saling percaya, semangat untuk selalu bekerja keras dan berkorban. Tak lupa disertai dengan cinta. Ya, cinta itulah yang membantu Nando tegar melewati seluruh kesulitan. Cinta dari keluarganya (ayah, kakak perempan dan neneknya di rumah), cinta ibu dan Susy yang sudah meninggal dan cinta dari teman-temannya. Selama di gunung, Nando merasa hanya cinta yang menyatukannya dengan kehidupan dunia. Cinta memberikannya kekuatan, dan cinta juga memberikannya keberanian. Keberanian dan kepandaian tak menyelamatkan hidupnya sebelumnya. Dia merasa tak memiliki keberanian dan kepandaian, hingga menyandarkan keyakinan pada cinta untuk ayahnya dan masa depan. Itulah kunci utama yang membuatnya mampu bertahan dan menentang kemustahilan.

Bagaimana Nando dan Roberto bertahan hidup di batas kematian hanya dengan kantong tidur dari potongan kain dan setumpuk daging manusia? "Miracle in The Andes" menjawabnya: karena keberanian, keyakinan, dan cinta. 

“Bernapaslah. Bernapaslah lagi. Dengan setiap tarikan napas, kamu akan hidup”
16 orang yang selamat dan masih hidup hingga sekarang.
(Anas)


No comments:

Post a Comment